Perkembangan Gagasan Semiotika
Secara umum
banyak orang yang mengemukakan pengertian seni sebagai keindahan. Pengertian seni
adalah karya manusia
yang mengandung nilai keindahan bukan pengertian yang keliru, namun tidak
sepenuhnya benar. Jika menelusuri arti seni melalui sejarahnya, baik di Barat
maupun di Indonesia, nilai keindahan menjadi satu kriteria yang utama. Sebelum
memasuki tentang pengertian seni, ada baiknya dibicarakan lebih dahulu tentang:
apakah keindahan itu.
Perkembangan
pola pikir manusia merupakan sebuah bentuk perkembangan yang mendasari
terbentuknya suatu pemahaman yang merujuk pada terbentuknya sebuah makna.
Apabila kita amati, kehidupan kita saat ini tidak pernah terlepas dari makna,
persepsi, atau pemahaman terhadap apapun yang kita lihat. Sekarang kita lihat
benda-benda yang ada di sekeliling kita. Sering sekali kita tanpa memikirkan
bentuk dan wujud benda tersebut kita sudah bisa mengetahui apa nama dari benda
itu. Ketika kita mengendarai sepeda motor atau mobil di jalan raya, maka kita
bisa memaknai setiap bentuk tanda lalu lintas yang bertebaran di jalan raya,
seperti traffic light misalnya, atau tanda “Dilarang Parkir” dan lain
sebagainya. Pernahkah terlintas dalam benak kita sebuah pertanyaan “mengapa
tanda ini dimaknai begini? Mengapa simbol itu dimaknai sedemikian rupa”. Kajian
keilmuan yang meneliti mengenai simbol atau tanda dan konstruksi makna yang
terkandung dalam tanda tersebut dinamakan dengan Semiotik.
C.S. PIERCE
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau
triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign),
object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat
ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk
(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce
terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang
muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan
sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda
adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang
dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep
pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna
tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk
sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna
muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini,
maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang
bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia
Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya
yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda
cantik dan menggairahkan.
Analisis semiotik Pierce terdiri dari tiga
aspek penting sehingga sering disebut dengan segitiga makna atau triangle of
meaning (Littlejohn, 1998). Tiga aspek tersebut adalah :
Tanda
Dalam kajian semiotik, tanda merupakan konsep
utama yang dijadikan sebagai bahan analisis di mana di dalam tanda terdapat
makna sebagai bentuk interpretasi pesan yang dimaksud. Secara sederhana, tanda
cenderung berbentuk visual atau fisik yang ditangkap oleh manusia.
2.
Acuan tanda atau objek
Objek merupakan konteks sosial yang dalam
implementasinya dijadikan sebagai aspek pemaknaan atau yang dirujuk oleh tanda
tersebut.
3.
Pengguna Tanda (interpretant)
Konsep pemikiran dari orang yang menggunakan
tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. (Kriyantono, 2007 : 263).
LEVI STRAUSS
Tokoh pelopor dalam teori kebudayaan
strukturalis adalah Levi-Strauss. Pandangan Levi-Strauss pada awalnya
dipengaruhi oleh Marx. Strukturalisme Marx sangat berkaitan dengan reduksi
kompleksitas. Meskipun Levi-Strauss sangat terkesan dengan kekuatan dan
konsistensi pemikiran Marx, Levi-Strauss tidak benar-benar menganut s atau
model analisis kebudayaan marxis. Karya Levi-Strauss justru menunjukkan
pendekatan kebudayaan yang anti materialis. Selain dipengaruhi oleh pemikiran
Marx, Levi-Strauss juga terpengaruh oleh konsep Freud mengenai interpretasi
mimpi, mitologi dan neurosis. Meskipun Levi-Strauss mengakui adanya pengaruh
pendekatan intelektual Freud, Levi-Strauss tidak menggunakan konsep Freud
sepenuhnya.
Konsep Levi-Strauss dalam pendekatan kebudayaan
strukturalis juga dipengaruhi oleh konsep geologi, ilmu yang mempelajari
tentang pemandangan (landscape). Levi-Strauss berpandangan bahwa kebudayaan
mempunyai struktur seperti struktur landscape yang terdiri dari bukit, sungai,
lembah, vegetasi dan lain-lain. Seperti layaknya seorang ahli geologi,
Levi-Strauss melihat dirinya sendiri sebagai seorang ilmuan yang membongkar
pola-pola yang dalam dan kausatif yang ada di bawah struktur yang terlihat dari
luar. Perhatian utama Levi-Strauss adalah penggunaan detail yang ada untuk
merekonstruksi bentuk dasar yang lebih besar dan lebih penting.
Selain dipengaruhi oleh pemikiran Marx, Freud
dan konsep geologi, dua tokoh yang sangat berpengaruh bagi pemikiran
Levi-Strauss adalah Saussure dengan teori linguistik strukturalnya dan Durkheim
dengan pandangannya mengenai masyarakat.
Hasil pemikiran Levi-Strauss yang menggunakan
pendekatan kebudayaan strukturalis adalah analisis struktural kekerabatan.di
akhir tahun 1940an, Levi-Strauss menghasilkan tulisan yang berjudul The
Elementary Structure of Kinship. Levi-Strauss beranggapan bahwa pemahamannya
mengenai sistem kekerabatan didukung dengan menerapkan pelajaran linguistik
pada analisis fenomena-fenomena sosial. Levi-Strauss mengatakan bahwa ahli
linguistik dan ahli sosiologi tidak hanya menerapkan metode yang sama tetapi
juga memperlajari hal yang sama. The Elementary Structure of Kinship menjadi
landasan dalam aplikasi pemikiran strukturalis dan analogi linguistik pada
kajian fenomena-fenomena budaya. Hasil pemikiran Levi-Strauss yang lain adalah
analisis struktural mitos dan klasifikasi. Levi-Strauss mengatakan bahwa mitos
adalah bahasa dan bahwa pengalaman masa lalu para ahli linguistik dapat
membantu mengembangkan metode yang sempurna untuk memahami mitos.
Meskipun Levi-Strauss telah diakui sebagai
tokoh utama dalam teori kebudayaan abad ke-20 dengan karya-karyanya yang
menunjukkan pendekatan-pendekatan strukturalis, ada beberapa kritik berkaitan
dengan pemikiran yang Levi-Strauss kemukakan. Kritik tersebut mengenai gagasan
tentang kekuatan yang tidak disebutkan dalam karya-karyanya, kritik terhadap
pandangannya mengenai budaya sebagai suatu abstraksi yang bisa muncul tanpa
adanya intervensi manusia (tidak adanya agen), kritik menganai plot dalam
mitos, kritik terhadap ‘Savage Mind’, dan kritik terhadap kesalahpahaman
Levi-Strauss mengenai sebagian besar konsep inti linguistik pada saat
menerapkannya dalam materi-materi kebudayaan.
ROLAND BARTHES
Tokoh yang selanjutnya adalah Roland Barthes.
Barthes menjadi tokoh yang begitu identik dengan kajian semiotik. Pemikiran
semiotik Barthes bisa dikatakan paling banyak digunakan dalam penelitian.
Konsep pemikiran Barthes terhadap semiotik terkenal dengan konsep mythologies
atau mitos. Sebagai penerus dari pemikiran Saussure, Roland Barthes menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,
interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan
diharapkan oleh penggunanya. (Kriyantono, 2007 : 268). Konsep pemikiran Barthes
yang operasional ini dikenal dengan Tatanan Pertandaan (Order of Signification). Secara sederhana, kajian
semiotik Barthes bisa dijabarkan sebagai berikut :
Denotasi
Denotasi merupakan makna sesungguhnya, atau
sebuah fenomena yang tampak dengan panca indera, atau bisa juga disebut
deskripsi dasar. Contohnya adalah Coca-Cola merupakan minuman soda yang
diproduksi oleh PT. Coca-Cola Company, dengan warna kecoklatan dan kaleng
berwarna merah.
Konotasi
Konotasi merupakan makna-makna kultural yang
muncul atau bisa juga disebut makna yang muncul karena adanya konstruksi budaya
sehingga ada sebuah pergeseran, tetapi tetap melekat pada simbol atau tanda
tersebut. Contoh adalah Coca-Cola merupakan minuman yang identik dengan budaya
modern, di mana Coca-Cola menjadi salah satu produk modern dan cenderung
kapitalis. Dengan mengkonsumsi Coca-Cola, seorang individu akan tampak modern
dan bisa dikatakan memiliki pemikiran budaya populer.
Dua aspek kajian dari Barthes di atas merupakan
kajian utama dalam meneliti mengenai semiotik. Kemudian Barthes juga
menyertakan aspek mitos, yaitu di mana ketika aspek konotasi menjadi pemikiran
populer di masyarakat, maka mitos telah terbentuk terhadap tanda tersebut.
Pemikiran Barthes inilah yang dianggap paling operasional sehingga sering
digunakan dalam penelitian.
UMBERTO UCO
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto
Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda
yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting
karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa
semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan
menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda.
Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco
menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar,
melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari
dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu
atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan
kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau
grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal
tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu
pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode
lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan
karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s
yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di
samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
VIHMA
Istilah lain yang pernah digunakan adalah
semiotika, semiologi, semasiologi, dan semetik. Pembicaraan tentang makna kata
pun menjadi objek semantik.
Setiap brand berpotensi mengalami masalah dalam
konteks semiotika berupa visualisasi dan representasi mereka
DERRIDA
Derrida terkenal dengan model semiotika
Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif
untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang
baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi,
pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian
realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda
(siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology,
Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni,
karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994
dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik
secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai
medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan
sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip.
Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang
permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di
depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa
merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan.
Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut
cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru
bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan
persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah
tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda
tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau
mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan
puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang
melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih
melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi
yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu
dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida
sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda
tersebut.
Komentar
Posting Komentar